Musibah dan tragedi kemanusiaan masih terus menyayat kehidupan kaum Muslimin di berbagai negara. Suriah meregang nyawa setiap saat. Palestina terus berdarah. Yaman merintih menahan lapar dan dahaga. Belum selesai jerit pilu Rohingnya, ratap nestapa Xinjiang terus terpekik.
Segala penindasan dan kezaliman itu oleh kita, umat Islam Indonesia mencoba untuk dijawab. Demo solidaritas dan penggalangan dana dilakukan untuk berbagai musibah di atas. Yang tak terlihat tapi (insya Allah) terus berlangsung adalah doa-doa yang dipanjatkan ke langit.
Doa agar penderitaan kaum Muslimin Suriah segera berakhir dengan kemenangan. Doa agar agar Al-Aqsha kembali terbebas dari cengkraman Yahudi. Doa agar Saudi dan Qatar mau memberi belas kasihan kepada nasib Muslimin Yaman.
Doa agar Rohingnya segera memiliki kehidupan yang layak di bawah pemerintahan yang adil. Dan juga doa agar Allah tunjukkan keajaibannya untuk pemerintah China atas apa yang mereka lakukan terhadap Muslimin di Turkistan Timur (Xinjiang).
Namun, bagaimana dengan doa untuk Indonesia? Memangnya ada musibah apa di Indonesia, sehingga perlu kita doakan?
Segala puji bagi Allah yang masih menciptakan rasa aman di negeri dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini. Secara fisik, umat Islam Indonesia tidak mengalami penzaliman dan penindasan sebagaimana saudara-saudara mereka di berbagai negara tersebut di atas. Tapi bagaimana dengan non-fisik?
Gerakan merongrong ajaran Islam terus bergeliat. Kampanye Islamophobia tak berhenti berkumandang. Kurikulum pendidikan dibersihkan dari ajaran-ajaran Islam yang dinilai menghalangi sekularisme, liberalisme dan juga kolonialisme.
Islamophobia di Indonesia masuk dan menyeruak ke semua sisi-sisi strategis negara. Mulai dari politisi, birokrat dan media. Fasilitas komunikasi tak terbatas dan pasal kebebasan berpendapat menjadi payung teduh bagi para penista agama.
Secara kuantitas, kerudung mungkin masih akrab ditemui dalam pemandangan keseharian di Indonesia beberapa tahun ke depan. Tapi dengan masifnya gerakan Islamophobia, kita tidak bisa memastikan Islam seperti apa yang tersisa di kepala yang tertutup kerudung-kerudung itu.
Pergulatan memang telah dan terus terjadi. Berbagai aktivis dakwah dan pendidikan Islam berupaya keras menahan laju pendangkalan Islam dari kehidupan sosial dan pendidikan. Satu-dua politikus masih gigih membela, meski tenggelam di lautan suara nyinyir.
Bahkan, momentum politik di tahun 2019 di mana Pilpres dan Pileg diselenggarakan juga diwarnai nuansa pergulatan seperti itu.
Dinamika persaingan merebut kekuasaan ini mengingatkan kita pada sebuah buku penting berjudul Al-Imamah Al-Udhma, karya Prof. Dr. Abdullah Ad-Dumaiji. Buku ini berusaha meluruskan paradigma yang benar terhadap kepemimpinan dalam Islam.
Secara terang-terangan, Penulis menyatakan bukunya ini bertujuan untuk membersihkan konsep kepemimpinan Islam dari segala macam debu dan kotoran yang menempel.
Oleh Penerbit Ummul Qura, buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, berjudul: Konsep Kepemimpinan dalam Islam. Di dalamnya dibahas hukum dan tujuan imamah, suksesi dan impeachment, syura, Ahlul Halli wal Aqdi dan hak serta kewajiban pemimpin.
Dua tahun lalu, Ummul Qura menemui Penulis saat berkunjung ke Jakarta. Penulis menyambut gembira penerbitan buku tersebut dalam bahasa Indonesia. Terlebih, Indonesia dengan populasi Muslim terbesar tentu memiliki persoalan dalam hal kepemimpinan yang tidak sederhana.
Kembali ke soal dinamika politik yang hari ini sedang hangat di negeri ini. Kita tidak pernah tahu siapa nantinya yang akan keluar sebagai pemenang dalam perebutan kekuasaan ini.
Yang kita lakukan hari ini, besok dan seterusnya adalah doa, agar Allah senantiasa menjaga agama-Nya, dan juga menjaga kaum Muslimin dari berbagai macam fitnah ujian dan cobaan—baik fitnah fisik maupun rongrongan opini dan pemikiran. (Hamdan)